THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 01 Maret 2009

Siapa madara dan ada di mana madara???

Siapa yang tidak mengenal Madara Uchiha, dia adalah pendiri Konohagakure dan juga orang yang menciptakan teknik ninja baru, yaitu mangekyo sharingan. Dan pada komik Naruto Volume 42 menceritakan kisah-kisah dahulu madara.

Kekuatan apakah yang dimiliki shinobi ini??  Banyak orang yang mengatakan bahwa Madara adalah shinobi terkuat. Dahulu madara sudah dikalahkan oleh Hokage pertama di "Lembah Terakhir".

Sekarang yang menjadi pertanyaan, dimana madara berada?? 

Selasa, 20 Januari 2009

Observasi Terhadap Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Dan Arah Perbaikannya

Hutan, lepas dari siapa pemiliknya, perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar mendatangkan manfaat tanpa merugikan pihak lain yang bisa terkena dampak periakuan sipemilik terhadap hutannya. Hutan memiliki nilai tangible dan intangible dan memiliki pengaruh yang jauh melampaui batas-batas wilayahnya (bahkan global), sehingga tanggung jawab pemilik atau pengelolanya terhadap kepentingan masyarakat amat besar.

Kehutanan mencakup ilmu, bisnis, seni dan praktek yang sengaja ditujukan untuk mengorganisir komponen dan mengelolanya untuk mendatangkan manfaat yang lestad. Sedangkan silvikultur adalah metoda untuk membangun, memelihara dan mengatur komunitas pohon dan vegetasi lain yang ada di dalamnya yang memiliki nilai untuk masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.

Kehutanan dan silvikultur bukan kegiatan yang semata-mata hanya mengekstraksi kayu dan komoditas lainnya, mumpung ada kesempatan. Dalam menghadapi suatu hutan seorang silvikulturis mempunyai dua pilihan alternatif yaitu apakah ia akan : i) meningkatkan produktivitas dan mutu dari kondisi yang ada atau ii) merubah karakter tegakan untuk memperoleh manfaat yang berbeda. Sistem silvikultur adalah proses atau prosedur bagaimana hutan akan dipelihara, dipanen, dan diganti dengan tanaman baru. Sistem silvikultur ini meliputi metode permudaan, bentuk hasil yang ingin dicapai, dan pengaturan hasil sepanjang rotasi dengan acuan khusus pertimbangan silvikultur, perlindungan, dan efesiensi pemanenan

Untuk kepeduan itu silvikultur tersebut bisa merumuskan sistem silvikultur dalam suatu skema manajemen yang menjanjikan untuk suatu tujuan tertentu, walaupun dalam beberapa hal mungkin skema manaiemen yang terbaik adalah hanya membiarkan hutan itu seperti apa adanya. Penentuan terakhir tentunya akan bergantung pada keinginan pemiliknya.

Hutan rakyat
Orang menanam pohon di atas lahan miliknya merupakan fenomena yang menarik karena sebelumnya sangat disangsikan apalagi membentuk hutan sepeqi yang hutan rakyat yang kita kenal sekarang.. Hambatan mengapa selama ini penduduk tidak menanam pohon antara lain adalah karena; lamanya waktu tunggu panen, lahan milik umumnya sempit dan lahan mereka dipedukan untuk kepeduan yang lebih mendesak (memproduksi pangan), tidak tersedia alternatif pekerjaan lain, keahlian terbatas, pasar kayu belum berkembang, dan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kepemilikan (tenurial).

Berkembangnya alternatif mata pencaharian penduduk sejalan dengan makin terbukanya kesempatan kerja di sekitar kampung mereka maupun di kota-kota besar, membuat penduduk tidak terialu mengandalkan hidupnya pada lahan miliknya. Mereka menanam pohon dengan lebih intensif bahkan dengan menggunakan pola agroforestry yang paling midp hutan yaitu talun; pendeknya sekarang petani benar- benar bertani pohon. Jenis-jenis yang umum ditanam adalah sengon, jati, formis, dan sonokeling.

Sengon sebenamya pernah dicoba ditanam besar-besaran oleh Jawatan Kehutanan pada tahun 50-an' di Jawa, tetapi sekarang hanya terdapat di Kedid. Nampaknyta kehutanan menyetop penanaman sengon begitu te6adi wabah serangan penggerek batang yang merugikan. Namun demikian,di Filipina tanaman sengon ini bebas dad serangan hama tersebut. Pada waktu kehutanan menyetop pembuatan tanaman sengon, rakyat malahan menanamnya di lahan miliknya bercampur dengan jenis jenis yang lain yang telah ada di talunnya. Tindakan ini justru berhasil; dad sini ada petunjuk bahwa bagi sengon sistem tanaman campur lebih sesuai. Pada awalnya sengon berkembang di lahan milik penduduk di sekitar Bogor dan Sukabumi, Malang, kemudian meluas ke daerah daerah yang bedklim midp di seluruh Jawa, bahkan ke luar Jawa.

Jati, sudah lama menjadi primadona penduduk, namun penanaman jati di lahan milik sempat terhambat karena ada larangan menanam jenis ini sejak jaman belanda dan tidak pernah dirubah sampai lama. Dewasa ini nampaknya sudah tidak ada lagi larangan itu, dan masyarakat di daerah kapur di jawa ini menanam jati besar-besaran di lahan miliknya, bahkan keberhasilan mereka sudah diakui oleh pemerintah dengan diperolehnya Kalpataru oleh beberapa daerah seperti sekitar Paranggupito (Surakarta selatan). Kalpataru dibedkan bukan karena semata-mata menanam jati, tetapi karena kesuksesan mereka membangun hutan di areal kritis yang sebelumnya gundul dengan semangat memperbaiki lingkungan hidup.

Beberapa hutan rakyat malahan hanya ditujukan untuk produksi non kayu, terdapat di Krui (Lampung), mereka membangun dan memelihara hutan itu untuk penghasilan damar. Kemudian hutan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan yang ditujukan untuk menahan angin, menghindari abrasi dan perbaikan lingkungan usaha pedkanan2

Apabila sampai saat ini rimbawan turut bergembira bahwa rakyat sudah mulai menanam hutan dengan prakarsa sendiri (sekitar 90% dari seluruh hutan rakyat yang kurang lebih 1,25 juta Ha)3 maka selanjutnya tugas mereka adalah ikut menyempurnakan dan meningkatkan produktivitas hutan rakyat dan kelestadan hasilnya dengan memberikan bantuan teknis kehutanan yang tepat.

Kamis, 13 November 2008

CITES

.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam adalah perjanjian internasional antarnegara yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN) tahun 1963. Konvensi bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Selain itu, CITES menetapkan berbagai tingkatan proteksi untuk lebih dari 33.000 spesies terancam.
Tidak ada satu pun spesies terancam dalam perlindungan CITES yang menjadi punah sejak CITES diberlakukan tahun 1975 (lihat pula) Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.
//
Latar belakang
CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela, dan negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties). Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti hukum di masing-masing negara. CITES hanya merupakan rangka kerja yang harus dijunjung para pihak yang membuat undang-undang untuk implementasi CITES di tingkat nasional. Seringkali, undang-undang perlindungan tumbuhan dan satwa liar di tingkat nasional masih belum ada (khususnya para pihak yang belum meratifikasi CITES), hukuman yang tidak seimbang dengan tingkat kejahatan, dan kurangnya penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar. Di tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan, (2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk penyitaan barang bukti.
Naskah konvensi disepakati 3 Maret 1973 pada pertemuan para wakil 80 negara di Washington, D.C.. Negara peserta diberi waktu hingga 31 Desember 1974 untuk menandatangani kesepakatan, dan CITES mulai berlaku tanggal 1 Juli 1975. Setelah melakukan ratifikasi, menerima, atau menyetujui konvensi, negara-negara yang menandatangani konvensi disebut para pihak (parties). Di tahun 2003, semua negara penanda tangan CITES telah menjadi para pihak. Negara yang belum menandatangani dapat ikut serta menjadi para pihak dengan menyetujui CITES. Di bulan Agustus 2006 tercatat sejumlah 169 negara telah menjadi para pihak dalam CITES.
Sekretariat CITES berkantor di Geneva, Swiss dan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol. Pendanaan kegiatan sekretariat dan Konferensi Para Pihak (COP) berasal dari dana perwalian yang merupakan sumbangan para pihak. Dana perwalian tidak bisa digunakan para pihak untuk meningkatkan taraf implementasi atau pelaksanaan CITES. Dana perwalian hanya untuk kegiatan sekretariat, sedangkan para pihak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan CITES harus mencari pendanaan eksternal (dilakukan NGO dan dana bilateral).
Apendiks CITES
CITES merupakan kerjasama antar negara anggota untuk menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES. Ekspor, impor, reekspor, dan introduksi spesies yang terdaftar dalam apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas keilmuan CITES di negara tersebut.
Para pihak anggota konvensi harus menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola yang memberi perizinan, dan satu atau lebih otoritas ilmiah yang menilai dampak perdagangan terhadap kelestarian spesies tersebut. Departemen Kehutanan berdasarkan pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 ditunjuk sebagai otoritas pengelola konservasi tumbuhan dan satwa liar di Indonesia. Selanjutnya, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditunjuk sebagai otoritas pengelola CITES di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 104/Kpts-II/2003 (sebagai pengganti Keputusan Menteri Kehutanan No.36/Kpts-II/1996). Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 7 dan 8 Tahun 1999 juga menunjuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan CITES.
Spesies yang diusulkan masuk dalam apendiks CITES dibahas dalam Konferensi Para Pihak (COP), yang konferensi berikutnya diadakan bulan Juni 2007. Para pihak bisa mengusulkan suatu spesies walaupun habitat spesies tersebut tidak berada dalam wilayah negara pengusul. Usulan bisa disetujui masuk dalam apendiks CITES asalkan didukung suara mayoritas 2/3 dari para pihak, walaupun ada para pihak yang berkeberatan.
Apendiks CITES berisi sekitar 5.000 spesies satwa dan 28.000 spesies tumbuhan yang dilindungi dari eksploitasi berlebihan melalui perdagangan internasional. Spesies terancam dikelompokkan ke dalam apendiks CITES berdasarkan tingkat ancaman dari perdagangan internasional, dan tindakan yang perlu diambil terhadap perdagangan tersebut. Dalam apendiks CITES, satu spesies bisa saja terdaftar di lebih dari satu kategori. Semua populasi Gajah Afrika (Loxodonta africana) misalnya, dimasukkan ke dalam Apendiks I, kecuali populasi di Botswana, Namibia, Afrika Selatan, dan Zimbabwe yang terdaftar dalam Apendiks II.
CITES terdiri dari tiga apendiks:
Apendiks I: daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional
Apendiks II: daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan
Apendiks III: daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.
Apendiks I - sekitar 800 spesies
Spesies yang dimasukkan ke dalam kategori ini adalah spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal (diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa).
Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.
Satwa yang dimasukkan ke dalam Apendiks I, misalnya gorila, simpanse, harimau dan subspesiesnya, singa Asia, macan tutul, jaguar cheetah, gajah Asia, beberapa populasi gajah Afrika, dan semua spesies Badak (kecuali beberapa subspesies di Afrika Selatan).
Apendiks II - sekitar 32.500 spesies
Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.
Apendiks III - sekitar 300 spesies
Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).
Amandemen
Amandemen harus didukung mayoritas dua pertiga para pihak dan bisa dilakukan sewaktu sidang luar biasa Konferensi Para Pihak (COP), bila sepertiga dari para pihak menyatakan sidang harus dilakukan. Amandemen Gaborone yang disetujui di Gaborone, Botswana, 30 April 1983 memungkinkan forum kerjasama ekonomi regional untuk berpartipasi dalam CITES. Pertimbangan keberatan (Pasal XXIII Reservations) menyangkut spesies tertentu dapat dinyatakan para pihak.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources disingkat IUCN terkadang juga disebut dengan World Conservation Union adalah sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam. Badan ini didirikan pada 1948 dan berpusat di Gland, Switzerland. IUCN beranggotakan 78 negara, 112 badan pemerintah, 735 organisasi non-pemerintah dan ribuan ahli dan ilmuwan dari 181 negara. Tujuan IUCN adalah untuk membantu komunitas di seluruh dunia dalam konservasi alam.