THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Selasa, 20 Januari 2009

Observasi Terhadap Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Dan Arah Perbaikannya

Hutan, lepas dari siapa pemiliknya, perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar mendatangkan manfaat tanpa merugikan pihak lain yang bisa terkena dampak periakuan sipemilik terhadap hutannya. Hutan memiliki nilai tangible dan intangible dan memiliki pengaruh yang jauh melampaui batas-batas wilayahnya (bahkan global), sehingga tanggung jawab pemilik atau pengelolanya terhadap kepentingan masyarakat amat besar.

Kehutanan mencakup ilmu, bisnis, seni dan praktek yang sengaja ditujukan untuk mengorganisir komponen dan mengelolanya untuk mendatangkan manfaat yang lestad. Sedangkan silvikultur adalah metoda untuk membangun, memelihara dan mengatur komunitas pohon dan vegetasi lain yang ada di dalamnya yang memiliki nilai untuk masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung.

Kehutanan dan silvikultur bukan kegiatan yang semata-mata hanya mengekstraksi kayu dan komoditas lainnya, mumpung ada kesempatan. Dalam menghadapi suatu hutan seorang silvikulturis mempunyai dua pilihan alternatif yaitu apakah ia akan : i) meningkatkan produktivitas dan mutu dari kondisi yang ada atau ii) merubah karakter tegakan untuk memperoleh manfaat yang berbeda. Sistem silvikultur adalah proses atau prosedur bagaimana hutan akan dipelihara, dipanen, dan diganti dengan tanaman baru. Sistem silvikultur ini meliputi metode permudaan, bentuk hasil yang ingin dicapai, dan pengaturan hasil sepanjang rotasi dengan acuan khusus pertimbangan silvikultur, perlindungan, dan efesiensi pemanenan

Untuk kepeduan itu silvikultur tersebut bisa merumuskan sistem silvikultur dalam suatu skema manajemen yang menjanjikan untuk suatu tujuan tertentu, walaupun dalam beberapa hal mungkin skema manaiemen yang terbaik adalah hanya membiarkan hutan itu seperti apa adanya. Penentuan terakhir tentunya akan bergantung pada keinginan pemiliknya.

Hutan rakyat
Orang menanam pohon di atas lahan miliknya merupakan fenomena yang menarik karena sebelumnya sangat disangsikan apalagi membentuk hutan sepeqi yang hutan rakyat yang kita kenal sekarang.. Hambatan mengapa selama ini penduduk tidak menanam pohon antara lain adalah karena; lamanya waktu tunggu panen, lahan milik umumnya sempit dan lahan mereka dipedukan untuk kepeduan yang lebih mendesak (memproduksi pangan), tidak tersedia alternatif pekerjaan lain, keahlian terbatas, pasar kayu belum berkembang, dan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan kepemilikan (tenurial).

Berkembangnya alternatif mata pencaharian penduduk sejalan dengan makin terbukanya kesempatan kerja di sekitar kampung mereka maupun di kota-kota besar, membuat penduduk tidak terialu mengandalkan hidupnya pada lahan miliknya. Mereka menanam pohon dengan lebih intensif bahkan dengan menggunakan pola agroforestry yang paling midp hutan yaitu talun; pendeknya sekarang petani benar- benar bertani pohon. Jenis-jenis yang umum ditanam adalah sengon, jati, formis, dan sonokeling.

Sengon sebenamya pernah dicoba ditanam besar-besaran oleh Jawatan Kehutanan pada tahun 50-an' di Jawa, tetapi sekarang hanya terdapat di Kedid. Nampaknyta kehutanan menyetop penanaman sengon begitu te6adi wabah serangan penggerek batang yang merugikan. Namun demikian,di Filipina tanaman sengon ini bebas dad serangan hama tersebut. Pada waktu kehutanan menyetop pembuatan tanaman sengon, rakyat malahan menanamnya di lahan miliknya bercampur dengan jenis jenis yang lain yang telah ada di talunnya. Tindakan ini justru berhasil; dad sini ada petunjuk bahwa bagi sengon sistem tanaman campur lebih sesuai. Pada awalnya sengon berkembang di lahan milik penduduk di sekitar Bogor dan Sukabumi, Malang, kemudian meluas ke daerah daerah yang bedklim midp di seluruh Jawa, bahkan ke luar Jawa.

Jati, sudah lama menjadi primadona penduduk, namun penanaman jati di lahan milik sempat terhambat karena ada larangan menanam jenis ini sejak jaman belanda dan tidak pernah dirubah sampai lama. Dewasa ini nampaknya sudah tidak ada lagi larangan itu, dan masyarakat di daerah kapur di jawa ini menanam jati besar-besaran di lahan miliknya, bahkan keberhasilan mereka sudah diakui oleh pemerintah dengan diperolehnya Kalpataru oleh beberapa daerah seperti sekitar Paranggupito (Surakarta selatan). Kalpataru dibedkan bukan karena semata-mata menanam jati, tetapi karena kesuksesan mereka membangun hutan di areal kritis yang sebelumnya gundul dengan semangat memperbaiki lingkungan hidup.

Beberapa hutan rakyat malahan hanya ditujukan untuk produksi non kayu, terdapat di Krui (Lampung), mereka membangun dan memelihara hutan itu untuk penghasilan damar. Kemudian hutan mangrove di Sinjai, Sulawesi Selatan yang ditujukan untuk menahan angin, menghindari abrasi dan perbaikan lingkungan usaha pedkanan2

Apabila sampai saat ini rimbawan turut bergembira bahwa rakyat sudah mulai menanam hutan dengan prakarsa sendiri (sekitar 90% dari seluruh hutan rakyat yang kurang lebih 1,25 juta Ha)3 maka selanjutnya tugas mereka adalah ikut menyempurnakan dan meningkatkan produktivitas hutan rakyat dan kelestadan hasilnya dengan memberikan bantuan teknis kehutanan yang tepat.